Lensabali.com, Badung – Warga Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, menggelar tradisi Mbed-mbedan tepat sehari setelah Nyepi, atau saat hari Ngembak Geni, Kamis siang (23/3/2023). Upacara yang digelar mirip seperti permainan tarik tambang ini sebagai penghormatan untuk mengenang berdirinya desa adat dan Pura Kahyangan Putih Semate.
Seluruh warga, mulai kaum perempuan, laki-laki, hingga remaja, berbaur mengikuti ritual ini. Sebelum Mbed-mbedan dimulai, seluruh warga doa bersama di pelataran Pura Desa dan Puseh setempat sekitar pukul 09.00 Wita.
Setelah itu, para pemangku menghaturkan sesaji berupa banten daksina suci di arena permainan. Sementara kaum laki-laki lainnya sibuk menyiapkan tambang dan akar tumbuhan yang disebut bun kalot.
Di pihak lain, belasan anak muda menabuh gamelan baleganjur untuk menambah gelegar suasana. Para ibu-ibu juga menghaturkan banten sesaji di pura termasuk tipat-bantal yang bisa disantap pada akhir upacara.
Tiba saatnya, mbed-mbedan diawali dengan tarian rejang. Kemudian permainan dimulai antara kaum pemangku pria maupun istri para pemangku.
Selanjutnya ada kaum pria dan wanita saling beradu kekuatan untuk menarik tambang sekuat-kuatnya hingga mampu membuat garis lawan terlewat hingga dianggap kalah.
Keseruan muncul saat ibu-ibu mengeluarkan seluruh kekuatan mereka. Bapak-bapak yang sudah sekuat tenaga menarik tambang justru kalah.
Ibu-ibu berhasil menarik tambang sampai mereka terjungkal. Dari permainan ini, warga dapat menguatkan persatuan yang sudah terjalin lama.
Pemangku PuraKahyangan PutihSemateJero Mangku Putih menjelaskan lahirnya tradisiMbed-mbedan tidak lepas dari sejarah perjalanan berdirinya Desa AdatSemate. Dijelaskan sesuai catatan sejarah, adanya perselisihan di KerajaanWaturenggong, Bali akibatkan satu-satu anggota keluarga pergi menuju tempat aman.
“Pemicunya karena putri raja bernama Dewa Ayu Laksmi dipersunting oleh seorang kaum bujangga waisnawa. Kemarahan raja jadi akan menghunus keris membunuh sang bujangga sehingga terjadi konflik. Situasi itu membuat bujangga dan sanak sang i Gusti Pasek Gelgel pergi,” tuturnya ditemui di Desa Adat Semate.
Singkat cerita pelarian ini tiba sampai di selatan Desa Kapal. Lokasi ini dulunya hutan rimba yang banyak ditumbuhi kayu putih nan angker, sehingga lokasi itu sangat disakralkan.
Dalam perjalanannya, datanglah Mpu Bantas ke hutan kayu putih ini. Ia kemudian bertemu warih Gni Jaya yang tiada lain putra-putra Ki Pasek Gelgel.
Ditanyakan kenapa tinggal di hutan, mereka mengakui tidak ingin lagi tinggal di kerajaan sebab tidak mau tunduk perintah orang lain dan teguh untuk bermukim di hutan tersebut.
“Atas saran Mpu Bantas, dibangunlah satu tempat pemujaan bernama Pura Kahyangan Putih Semate (saat ini). Sebelum ada nama itu, konon sempat ada tarik-ulur pendapat maka disarankan memakai nama Pura Kahyangan Putih Semate,” tegas pemangku.
MpuBantas lantas mengingatkan warga di hutan ini agar mengadakan tradisiMbed-mbedan setiap sehari setelahNyepi untuk mengenang adanya perselisihan pendapat tentang pemberian nama pura dan nama DesaSemate. “NamaSemate ini diartikan sebagai warga yang sudah teguh pendirian untuk sehidupsemati tinggal di sini,” tegasnya.
Menurutnya, eksistensi Mbed-mbedan berasal dari upaya desa adat menggali bukti sejarah yang ternyata tersimpan rapi di Desa Adat Kapal. Salah seorang praktisi Bahasa Jawa Kuna di Kapal lantas menunjukkan Raja Purana atau catatan sejarah tentang Desa Semate yang pudar.
Rupanya Mbed-mbedan konon sudah ada sejak Tahun Saka 1396 atau 1474 Masehi. Mbed-mbedan juga pernah ditiadakan selama puluhan tahun. Warga pun tetap teguh menjalankan tradisi Mbed-mbedan yang merupakan seruan atau bhisama leluhur. (PR)